BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk, keanekaragaman tersebut terbagi dalam beberapa kategori dengan criteria tertentu. Suku Bajo adalah merupakan salah satu etnis yang banyak bermukim di kepulauan Indonesia, salah satunya adalah etnis Bajo yang bermukim di Sulawesi Tengah pada daerah Parigi Moutong. Arsitektur Suku Bajo memiliki keunikan utamanya pada sistem struktur bangunan, yang permukimannya berada di atas Laut pada daerah pesisir Pantai, hal tersebut dipengaruhi oleh kebiasaan dan mata pencaharian utama suku tersebut yang sangat terikat dengan laut secara histori, budaya, dan keahlian utama mereka. Hunian yang berada diatas laut memiliki sistem struktur yang spesifik, karena konstruksi rumah harus dapat berdiri dengan baik diatas permukaan laut. Suku tersebut selalu memilih bermukim di daerah pesisir pantai atau di antar kepulauan di sekitar Indonesia dan beberapa pada beberapa negara tetangga, dan terbanyak di sekitar pulau Sulawesi.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana interaksi suku Bugis dengan suku Bajo ?
2. Bagaimana perubahan bentuk hunian suku Bajo ?
3. Apakah perubahan bentuk hunian suku Bajo akibat pengaruh interaksi suku Bugis dengan suku Bajo ?
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui perubahan bentuk hunian suku Bajo akibat interaksi dengan suku Bugis
BAB II
ISI
Masyarakat Bajo pada awalnya tinggal di atas perahu yang disebut bido’, hidup berpindah-pindah bergerak secara berkelompok menuju tempat yang berbeda menurut pilihan lokasi penangkapan ikan. Di atas perahu mereka menjalani hidupnya sejak lahir, berkeluarga hingga akhir hayatnya. Oleh sebab itu, orang Bajo sering disebut sea nomads (Sopher, 1971) atau sea gypsies (Brown,1993). Dalam perkembangannya, sebagian besar dari mereka telah tinggal menetap di pinggir laut. Seperti halnya di daerah-daerah lain di Indonesia, mereka hidup menetap di laut atau di pinggir laut. Laut dijadikan sebagai sumber kehidupan (panamamie ma di lao). Mereka memiliki prinsip bahwa pinde kulitang kadare, bone pinde sama kadare yang berarti memindahkan orang Bajo ke darat, sama halnya memindahkan penyu ke darat (Nasruddin, 1996). Bahkan banyak diantara mereka merasa pusing kepalanya jika tidak mendengarkan gemuruh ombak (piddi tikolo’na lamong nggai makale le goya). Ungkapan tersebut menggambarkan betapa sulitnya memisahkan kehidupan mereka dengan laut.
Orang Bajo dan orang Bugis yang dikenal sebagai masyarakat maritim mempertahankan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya laut. Kepercayaan yang menyangkut nilai – nilai tradisional menjadi faktor penting dalam menjaga kelestarian sumber daya laut. Namun demikian akibat interaksi yang intensif dengan komunitas nelayan dari luar menyebabkan sebagian nelayan tradisional lambat laun telah mengadopsi teknologi penangkapan ikan yang kadang – kadang tidak ramah lingkungan .
2.1 Sejarah Suku Bajo
Suku Bajo dikenal sebagai pelaut – pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal suku Makassar, suku Bugis, atau suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, suku Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Sehingga, ketangguhan dan keterampilannya mengarungi samudera jelas tidak terbantahkan. Sejumlah antropolog mencatat, suku Bajo lari ke laut karena mereka menghindari perang dan kericuhan di darat. Sejak itu, bermunculan manusia-manusia perahu yang sepenuhnya hidup di atas air. Nama suku Bajo diberikan oleh warga suku lain di Pulau Sulawesi sendiri atau di luar Pulau Sulawesi. Sedangkan warga suku Bajo menyebutnyadirinya sebagai suku Same. Dan, mereka menyebut warga di luar sukunya sebagai suku Bagai. Nama “Bajo” sendiri ada yang mengartikannya secara negatif, yakni perompak atau bajak laut. Menurut cerita tutur yang berkembang di kalangan antropolog, kalangan perompak di zaman dulu diyakini berasal dari suku Same. Sejak itu, orang-orang menyebut suku Same sebagai suku Bajo. Artinya, ya suku Perompak. Anehnya, nama suku Bajo itu lebih terkenal dan menyebar hingga ke seluruh nusantara. Sehingga, suku laut apa pun di bumi nusantara ini kerap disamaratakan sebagai suku Bajo! Belakangan, pemaknaan negatif ini membangkitkan polemik berkepanjangan.
Banyak kalangan yang tidak menyetujui dan membantah arti “bajo” sebagai perompak atau bajak laut. Karena, itu sama artinya dengan menempatkan suku Bajo di tempat yang tidak semestinya dalam buku sejarah kita. Apa pun hasil akhir perdebatan itu, faktanya banyak juga kalangan antropolog yang sangat yakin dengan akurasi konotasi negatif itu. Lucunya, perdebatan demi perdebatan tentang suatu masalah, justru tidak pernah menghasilkan kesimpulan yang kian sempurna. Sehingga, hanya kebingunganlah yang mesti dinikmati orang-orang yang berniat mempelajari ilmu pengetahuan tersebut. Termasuk juga tentang asal-muasal kata “bajo”! Yang pasti, suku Bajo adalah suku Same atau suku laut yang hingga sekarang masih memukimi banyak lokasi di seluruh nusantara. Di mana ada tanjung, maka di sanalah suku Bajo membangun kehidupan.
Di mana ada laut, maka di sanalah suku Same itu mencari nafkah. Dengan bernelayan, tentu saja. Bila prediksi dampak perubahan iklim benar-benar terjadi antara 2050-2100, suku Bajo boleh dibilang masyarakat paling siap menghadapinya. Pasalnya, sejak lahir, keturunan suku Bajo sudah dikenalkan dengan kehidupan di atas permukaan air. Di tengah kesibukan para ilmuwan mencari solusi dari perubahan iklim, ternyata sebagian jawabannya ada pada kearifan suku Bajo. Menurut Profesor AB Lapian, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, suku Bajo atau bajau merupakan sekumpulan orang yang menggantungkan hidupnya di laut. “Boleh dibilang hidup dan mati mereka bergantung dengan laut,” ujar Lapian.
Seluruh aktivitas mereka dihabiskan di atas perahu. Karena itu, mereka dikenal dengan julukan suku nomaden laut. Hal inilah yang ingin dipelajari dan diterapkan para ilmuwan menghadapi ancaman pulau-pulau tenggelam itu. Di sisi lain, para peneliti kesulitan mendapatkan data akurat tentang asal-usul nenek moyang suku Bajo. Menurut Lapian, ada berbagai macam versi sejarah iwayat leluhur mereka. Versi cerita rakyat menyebutkan suku Bajo berasal dari Johor, Malaysia. Ada pula yang mengatakan berasal dari Filipina atau Bone (Sulawesi Selatan). Namun, menurut Dr Munsi Lampe, antropolog dari Universitas Hasanuddin Makassar, jumlah suku Bajo yang menggantungkan hidupnya di atas perahu diperkirakan semakin sedikit karena hidup menepi di pesisir pantai dan mendirikan rumah panggung. Digambarkan dalam buku Menyiasati Perubahan Iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, rumah panggung suku Bajo dibangun menggunakan bahan yang terbilang ramah lingkungan. Dindingnya terbuat\ kombinasi kayu dan anyaman bambu. Sedangkan bagian atap dari daun rumbia.
Suku Bajo menghadapi sejumlah masalah politik , sosial dan ekonomi yang kompleks , seperti :
1. Kemiskinan, kesenjangan sosial,
2. Keterbatasan akses modal, teknologi
3. Kelemahan fungsi kelembagaan sosial ekonomi,
4. Sumber daya manusia (SDM) yang rendah,
5. Degradasi sumberdaya lingkungan,
6. Belum kuatnya kebijakan yang berorientasi pada kemaritiman sebagai pilar utama pembangunan nasional.
Ingin membaca semuanya, silahkan sobat download Makalah Wawasan Sosial Budaya Bahari .
Semoga bermanfaat sobat. Semangat !
Terima kasih telah membaca artikel tentang Contoh Makalah Wawasan Sosial Budaya Bahari di blog 09Blogspot jika anda ingin menyebar luaskan artikel ini di mohon untuk mencantumkan link sebagai Sumbernya, dan bila artikel ini bermanfaat silakan bookmark halaman ini diwebbroswer anda, dengan cara menekan Ctrl + D pada tombol keyboard anda.
Silahkan anda berikan kritik atau saran yang bersifat membangun agar Blog ini dapat lebih baik lagi . Terima Kasih